Rencananya, Pemerintah Indonesia akan mengalokasikan hampir separuh (tepatnya 45 persen) wilayah Kalimantan untuk paru-paru dunia.
“Khusus untuk Pulau Kalimantan 45% dari luas pulau Kalimantan ditetapkan sebagai paru-paru dunia, maksudnya adalah untuk pelestarian kawasan yang memiliki keanekaragaman hayati, satwa dan tumbuhan endemik di Kalimantan, misalnya Orangutan, dan pengembangan koridor ekosistem antar kawasan konservasi,” ujar Hadi Daryanto , Sekjen Kementrian Kehutanan Indonesia, ketika menjelaskan mengenai Peraturan Presiden No. 3 yang ditandatangani 5 Januari 2012. Peraturan ini memuat mengenai Rencana Tata Ruang Pulau Kalimantan.
Untuk mewujudkan ini, pemerintah pusat akan melibatkan pemerintah provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Namun, Teras Narang, Gubernur Kalimantan Tengah, menyatakan merasa tidak pernah dilibatkan dalam penyusunan Perpres terkait.
“Kita tidak pernah tahu, jadi semestinya sebelum itu ditandatangani oleh bapak presiden, Kalimantan itu diundang untuk dijelaskan kalau akan ada perpres, karena itu menyangkut masalah prinsipil juga, dan jika melibatkan kabupaten, mereka juga harus dilibatkan,” tukas Teras.
Memang sangat penting bagi pemerintah pusat untuk melibatkan pemerintah daerah, menurut Yaya Rayadin, pengamat masalah kehutanan dari Universitas Mulawarman, Kaltim. Ini mengingat pernah terjadinya beberapa konflik kepentingan dalam hal menentukan kawasan konservasi di beberapa wilayah Kalimantan.
Ada konsep yang berbeda karena kepentingan berbeda, disisi lain kawasan konservasi tetapi potensi batu baranya juga tinggi, itu potensi konfliknya juga tinggi, sebagai contoh Taman Nasional Kutai, ” ujarnya.
Selain itu, menurut Yaya harus ada anggaran untuk perlindunga kawasan konservasi, yang kita ketahui selama ini rentan kerusakan. Ya, kasus pembalakan liar, perburuan liar dan kebakaran hutan adalah masalah klasik yang saat ini masih terus terjadi. Saat ini anggaran untuk kepentingan tersebut hanya sekitar US$4 per hektar per tahun, padahal idealnya US$50 per hektar per tahun. Nilai yang tidak sampai 40.000 rupiah itu sangatlah kecil tentunya untuk luas daerah 1 hektar.
Tentu saja, kita semua menyambut baik rencana pemerintah ini. Namun, kembali lagi pada pelaksanaannya. Keseriusan dan ketegasan pemerintah dalam menangani masalah lingkungan seperti pembalakan liar dan sejenisnya sangat diharapkan, agar rencana tidak hanya sebatas rencana,melainkan ada kemajuan signifikan yang dapat dilihat dan dirasakan.
Ini pengalaman ane sendiri yang tinggal di pulau kalimantan, khususnya Samarinda. Dahulu Samarinda tak sepanas seperti sekarang. Dulu, kalau pagi-pagi pasti narik selimut, sekarang? tiap malam hawa terasa panas. Hutan-hutan gundul karena penambangan dan menebang kayu-kayu entah itu untuk industri atau untuk membuka lahan industri yang menyisakan pemandangan mengerikan. Takutnya ini semua akan berdampak kepada warga Samarinda seperti Banjir dan Tanah longsonr.
Hewan-hewan juga akan terganggu habitatnya. Seperti kasus perburuan Orang Utan untuk membuka lahan perkebunan sawit, padahal kan Orang Utan termasuk hewan yang dilindungi. Jangan hanya memikirkan keuntungan pribadi lalu hewan atau orang lain yang akan menerima akibatnya. Semoga Pemerintah cepat mengambil tindakan atas semua hal ini. Jangan hanya mengambil untungnya sedangkan imbasnya wargalah yang terkena.